Kembali ke Medinah - Zainab wafat - Ibrahim lahir -
Isteri-isteri Nabi cemburu - Hafsha dan Aisyah memperlihatkan sikap - Cerita
Maghafir - Selama sebulan Nabi meninggalkan isterinya - Percakapan Umar dengan
Nabi - Surat At-Tahrim - Catatan kaki.
Kelahiran Ibrahim, putera
Nabi dengan Maria dan pertengkaran antara ister-isteri Nabi karena kelahiran
Ibrahim tersebut. Cerita ini juga menimbulkan kegairahan mengarang cerita yang
tidak-tidak dari kaum orientalis, yang dibalas-balik oleh Haekal secara tepat
Kembali ke
Medinah
MUHAMMAD kembali ke Medinah selesai ia membebaskan Mekah dan
setelah mendapat kemenangan di Hunain dan mengepung Ta'if. Dalam hati orang
Arab semua sudah nyata dan yakin, bahwa tak ada yang akan dapat menandinginya
di seluruh jazirah, juga sudah tak ada lagi lidah yang mau mengganggu atau
mencelanya. Pihak Anshar dan Muhajirin semua merasa gembira sekali karena Tuhan
telah membukakan jalan kepada Nabi, membebaskan negeri tempat Mesjid Suci. Mereka
gembira karena penduduk Mekah telah beroleh hidayah dengan menganut Islam, dan
orang-orang Arab - dengan kabilahnya yang beraneka ragam itu - telah tunduk dan
taat kepada agama ini.
Untuk sekadar menikmati adanya ketenangan hidup, mereka
semua kembali ke Medinah setelah Muhammad menunjuk 'Attab b. Asid untuk Mekah
di samping Mu'adh b. Jabal guna mengajar orang memperdalam agama dan
mengajarkan Qur'an. Kemenangan yang belum ada taranya dalam sejarah Arab ini
telah menimbulkan kesan yang dalam sekali di dalam hati orang-orang Arab itu
semua, juga dalam hati pembesar-pembesar dan bangsawan-bangsawan yang
samasekali tidak membayangkan, bahwa pada suatu hari mereka akan tunduk kepada
Muhammad atau akan menerima agamanya sebagai agama mereka; dalam hati penyair-penyair,
yang bicara atas nama bangsawan-bangsawan dengan sekedar mendapatkan simpati
dan dukungan sebagai imbalan, atau sekadar mendapatkan bantuan dan dukungan
kabilah-kabilah; dalam hati kabilah-kabilah di pedalaman, yang biasanya tidak
mau menukarkan kebebasannya dengan apa pun, atau akan terbayang dalam
pikirannya, bahwa mereka akan tergabung dalam satu panji di luar panji mereka
sendiri yang khusus atau akan bersedia mati untuk semua itu dalam suatu
peperangan sampai habis samasekali. Para penyair dengan sajak-sajaknya, kaum
bangsawan dengan kebangsawanannya dan kabilah-kabilah yang mau mempertahankan
kepribadiannya, apa artinya semua itu dalam berhadapan dengan kekuatan yang
berada di luar kodrat alam itu, tiada dapat dibendung oleh suatu kekuatan,
tiada suatu kekuasaan dapat mengalanginya.
Begitu besarnya pengaruh itu dalam hati orang-orang Arab,
sehingga Bujair ibn Zuhair menulis surat kepada saudaranya Ka'b, setelah Nabi
meninggalkan Ta'if. Ia mengatakan, bahwa Muhammad di Mekah telah menjatuhkan
hukuman mati kepada orang-orang yang dulu pernah mengejek dan mengganggunya,
dan penyair-penyair yang masih ada, mereka melarikan diri tak tentu arahnya.
Dinasehatinya saudaranya itu, supaya segera datang kepada Nabi di Medinah. Ia
tidak pernah menghukum orang yang datang kepadanya menyatakan penyesalannya;
atau orang menyelamatkan diri dengan ke mana saja ia mau pergi.
Apa yang
diceritakan Bujair itu memang benar. Tak ada orang yang terbunuh di Mekah atas
perintah Muhammad kecuali empat orang saja, di antaranya seorang penyair yang
sangat mengganggu Nabi dengan ejekan-ejekannya, dua orang yang telah menyakiti
Zainab puterinya, ketika dengan ijin suaminya ia pergi hijrah dari Mekah hendak
menyusul ayahnya. Ka'b yakin bahwa apa yang dikatakan saudaranya itu benar, dan
kalau dia tidak mau menemui Muhammad ia akan hidup dalam petualangan. Oleh
karena itu cepat-cepat ia datang ke Medinah dan menumpang di rumah seorang
kawan lama. Keesokan harinya pagi-pagi ia datang ke mesjid, ia meminta suaka
kepada Nabi kemudian ia membacakan sajak ini.1
Berpisah
dengan Su'ad
Hatiku
kini merana karena cinta
Tergila-gila
mengikutinya, terpukau
Tiada lagi ada belenggu.
Nabi
kemudian memaafkannya dan setelah itu dia menjadi orang Islam yang baik.
Karena pengaruh itu jugalah, maka kabilah-kabilah mulai
berdatangan kepada Nabi dan menyatakan kesetiaannya. Dari kabilah Tayy datang
pula utusan dipimpin oleh ketuanya sendiri, Zaid al-Khail. Setelah mereka ini
tiba, Nabi pun menyambut mereka dengan baik sekali. Ketika terjadi pembicaraan
dengan Zaid, Nabi berkata: "Setiap ada orang dari kalangan Arab yang
digambarkan begitu baik, kemudian orang itu datang kepadaku, ternyata ia kurang
daripada apa yang digambarkan orang, kecuali Zaid al-Khail ini. Ia melebihi
daripada apa yang digambarkan orang."
Lalu ia dinamainya 'Zaid al-Khair,' (Zaid yang baik) bukan
lagi, Zaid al-Khail, ('Zaid si kuda').2 Kabilah Tayy kemudian masuk Islam
termasuk Zaid sendiri sebagai pemimpinnya.
Kemudian 'Adi b. Hatim at-Ta'iy. Ia seorang Nasrani, dan
sangat benci kepada Muhammad. Setelah melihat keadaan Muhammad dan Muslimin di
jazirah Arab, ia pergi dengan untanya, membawa keluarga dan anaknya hendak
bergabung dengan orang-orang seagama dari kalangan Nasrani di Syam. Larinya
'Adi ini ialah ketika Nabi mengutus Ali b. Abi Talib supaya menghancurkan
berhala Tayy. Setelah berhala itu oleh Ali dihancurkan, ia membawa rampasan dan
tawanan perang, di antaranya puteri Hatim -saudara 'Adi - yang telah ditahan
dalam sebuah tempat berpagar di pintu masuk mesjid, tempat tawanan-tawanan
perang dikurung. Tatkala Nabi lewat di tempat itu, ia menghampirinya dan
berkata: "Rasulullah, ayah saya sudah meninggal, sedang penopang saya
sudah menghilang. Bermurah hatilah kepadaku, mudah-mudahan Tuhan akan memberi
kurnia kepadamu."
Setelah diketahui bahwa penopangnya itu 'Adi b. Hatim, yang
telah melarikan diri dari Tuhan dan Rasul, Nabi memalingkan muka dari dia.
Tetapi perempuan itu memintanya meninjau kembali. Lalu teringat oleh Nabi,
betapa pemurahnya ayah mereka dulu pada zaman jahiliah sehingga dapat
mengangkat nama jazirah itu. Kemudian diperintahkannya supaya wanita itu
dibebaskan. Ia diberi pakaian yang bagus-bagus dan diberinya pula belanja, lalu
diberangkatkan dengan rombongan pertama yang berangkat ke Syam. Bila kemudian
ia bertemu dengan saudaranya ('Adi) dan diceritakannya betapa Muhammad
menghormatinya dan bermurah hati kepadanya, ia pun kembali dan menerjunkan diri
ke dalam barisan Muslimin.
Demikian juga pemuka-pemuka kabilah yang lain berdatangan
kepada Muhammad - setelah pembebasan Mekah dan kemenangan di Hunain serta
pengepungan Ta'if - mereka hendak mengakui risalahnya dan menerima Islam,
sementara ketika itu ia tinggal di Medinah, mereka lega dengan adanya
pertolongan Tuhan dan kehidupan yang agak tenteram itu
Zainab
wafat
Akan tetapi ketenteraman hidup masa itu tampaknya tidak
begitu cerah. Pada waktu itu Zainab, puterinya sedang menderita sakit yang
sangat menguatirkan sekali. Sejak ia mendapat gangguan Huwairith dan Habbar
tatkala ia berangkat dari Mekah yang sangat mencemaskan hatinya dan menyebabkan
ia keguguran, sejak itu kesehatannya mundur sekali, yang sampai berakhir
membawa kematiannya. Dengan kematiannya itu tak ada lagi dari keturunan
Muhammad yang masih hidup selain Fatimah, setelah Umm Kulthum dan Ruqayya wafat
pula lebih dulu sebelum Zainab. Dengan kehilangan puterinya ini Muhammad merasa
gundah sekali. Teringat olehnya, betapa lembutnya perasaan Zainab, betapa
indahnya kesetiaannya kepada suaminya - Abu'l-'Ash bin'r-Rabi' ketika sebagai orang
tawanan di Badr, ditebusnya ia dari ayahnya. Ia menebusnya, padahal ia dalam
Islam sedang suaminya masih syirik, di samping begitu gigih ia memerangi
ayahnya, yang kalau kemenangan itu berada di tangan Quraisy, pasti Muhammad
tidak akan dibiarkan hidup.
Semua itu teringat oleh Muhammad betapa lembutnya
perasaannya, betapa indahnya kesetiaannya. Teringat pula olehnya betapa ia
menderita sakit, sejak ia kembali dari Mekah sampai ia wafat. Muhammad, yang
dalam kemalangan, ia pergi ke pelosok-pelosok dan ke ujung kota, menengoki
orang yang sedang sakit, ia menghibur orang yang dalam menderita, dalam
kesakitan. Maka bilamana sampai pula takdir menimpa puterinya ini, setelah
lebih dulu menimpa kedua saudaranya yang laki-laki tidak salah apabila ia akan
sangat merasa duka, akan sangat bertambah luka di hati, meskipun dengan adanya
rahmat dan kasih sayang Tuhan kepadanya ia akan merasa sudah terhibur.
Ibrahim
lahir
Akan tetapi tidak lama ia mengalami kesedihan itu, dengan
melalui Maria orang Kopti Tuhan telah memberi karunia seorang anak laki-laki
yang diberi nama Ibrahim, nama yang diambil dari Ibrahim leluhur para nabi,
para hunif yang patuh kepada Tuhan. Sejak Maria diberikan oleh Muqauqis kepada
Nabi sampai pada waktu itu masih berstatus hamba sahaja. Oleh karena itu
tempatnya tidak di samping mesjid seperti isteri-isteri Nabi Umm'l-Mukminin
yang lain. Oleh Muhammad ia ditempatkan di 'Alia, di bagian luar kota Medinah,
di tempat yang sekarang diberi nama Masyraba Umm Ibrahim, dalam sebuah rumah di
tengah-tengah kebun anggur. Ia sering berkunjung ke sana seperti biasanya orang
mengunjungi hak-miliknya. Ia mengambilnya sebagai hadiah dari Muqauqis
bersama-sama saudaranya yang perempuan, Sirin, dan Sirin ini diberikannya
kepada Hassan b. Thabit. Sesudah Khadijah wafat, dari semua isterinya, baik
yang muda remaja atau yang sudah setengah umur, yang dulu pernah memberikan
keturunan, Muhammad tidak pernah menantikan mereka masih akan memberikan
keturunan lagi, yang selama sepuluh tahun berturut-turut belum ada tanda-tanda
kesuburan pada mereka.
Setelah ternyata Maria mengandung dan kemudian lahir Ibrahim
- ketika itu usianya sudah lampau enampuluh tahun - sangat gembira sekali ia.
Rasa sukacita telah memenuhi hati manusia besar ini. Dengan kelahirannya itu
kedudukan Maria dalam pandangannya tampak lebih tinggi, dari tingkat
bekas-bekas budak ke derajat isteri. Ini menambah ia lebih disenangi dan lebih
dekat lagi.
Isteri-isteri Nabi
cemburu
Wajar sekali hal ini akan menambah rasa iri hati di kalangan
isteri-isterinya yang lain, lebih-lebih karena Maria ibu Ibrahim, sedang mereka
semua tidak beroleh putera. Juga pandangan Nabi kepada bayi ini sehari ke
sehari makin memperbesar kecemburuan mereka. Ia sangat menghormati Salma,
isteri Abu Rafi', yang bertindak sebagai bidan Maria. Ketika lahirnya itu ia
memberikan sedekah uang dengan ukuran tiap seutas rambut kepada setiap fakir
miskin, dan untuk menyusukannya telah diserahkan pula kepada Umm Saif disertai
tujuh ekor kambing untuk dimanfaatkan air susunya buat si bayi. Setiap hari ia
singgah ke rumah Maria sekadar ingin melihat Ibrahim, dan ia pun tambah gembira
setiap melihat senyuman bayi yang masih suci dan bersih itu; makin senang
hatinya setiap melihat pertumbuhan bayi bertambah indah. Apa lagikah yang akan
lebih besar dari semua ini, akan menimbulkan rasa iri hati dalam diri
isteri-isteri yang tidak mempunyai anak itu? Dan sampai di mana pula pengaruh
iri hati itu pada mereka?
Hafsha dan Aisyah memperlihatkan
sikap
Dengan penuh perasaan gembira pada suatu hari Nabi datang
dengan memondong Ibrahim kepada Aisyah. Dipanggilnya Aisyah supaya melihat
betapa besarnya persamaan Ibrahim dengan dirinya itu. Aisyah melihat kepada
bayi itu, kemudian katanya, bahwa dia tidak melihat adanya persamaan itu.
Setelah dilihatnya Nabi begitu gembira karena pertumbuhan bayi itu, ia tampak
marah; semua bayi yang mendapat susu seperti Ibrahim, akan sama pertumbuhannya
atau akan lebih baik. Isteri-isteri Nabi telah marah dan tidak suka hati karena
kelahiran Ibrahim itu, yang akibatnya tidak terbatas hanya pada jawaban-jawaban
yang kasar, bahkan sudah lebih dari itu, sampai-sampai dalam sejarah Muhammad
dan dalam sejarah Islam telah meninggalkan pengaruh, sehingga karenanya datang
pula wahyu dan disebutkan dalam Kitabullah
Dan wajar sekali pengaruh demikian ini akan timbul, Muhammad
telah memberi tempat dan kedudukan kepada isteri-isterinya demikian rupa, suatu
hal yang tidak pernah dikenal di kalangan Arab. Dalam suatu keterangan Umar
bin'l-Khattab berkata, "Sungguh," kata Umar, "kalau kami dalam
zaman jahiliah, wanita-wanita tidak lagi kami hargai. Baru setelah Tuhan
memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak kepada
mereka."
Dan katanya lagi, "Ketika saya sedang dalam suatu
urusan tiba-tiba isteri saya berkata: 'Coba kau berbuat begini atau begitu.
Jawab saya, 'Ada urusan apa engkau di sini, dan perlu apa engkau dengan urusan
yang kuinginkan.' Dia pun membalas, 'Aneh sekali engkau, Umar. Engkau tidak mau
ditentang, padahal puterimu menentang Rasulullah s.a.w. sehingga ia gusar
sepanjang hari. Kata Umar selanjutnya: "Kuambil mantelku, lalu aku keluar,
pergi menemui Hafsha. 'Anakku,' kataku kepadanya. 'Engkau menentang Rasulullah
s.a.w. sampai ia merasa gusar sepanjang hari?! Hafsha menjawabnya: 'Memang kami
menentangnya.' 'Engkau harus tahu,' kataku. 'Kuperingatkan engkau jangan
teperdaya. Orang telah terpesona oleh kecantikannya sendiri dan mengira cinta
Rasulullah s.a.w. hanya karenanya.' Kemudian saya pergi menemui Umm Salama,
karena kami masih berkerabat. Hal ini saya bicarakan dengan dia. Lalu kata Umm
Salama kepadaku: 'Aneh sekali engkau ini, Umar! Engkau sudah ikut campur dalam
segala hal, sampai-sampai mau mencampuri urusan Rasulullah s.a.w. dengan
rumahtangganya!' Kata Umar lagi: 'Kata-katanya mempengaruhi saya sehingga tidak
jadi saya melakukan apa yang sudah saya rencanakan. Lalu saya pun pergi."
Muslim dalam Shahih-nya melaporkan, bahwa Abu Bakr pernah
meminta ijin kepada Nabi akan menemuinya dan setelah diijinkan iapun masuk,
kemudian datang Umar meminta ijin dan masuk pula setelah diberi ijin.
Dijumpainya Nabi sedang duduk dalam keadaan masygul di tengah-tengah para
isterinya yang juga sedang masygul dan diam. Ketika itu Umar berkata:
"Saya akan mengatakan sesuatu yang akan membuat Nabi s.a.w. tertawa. Lalu
katanya: 'Rasulullah, kalau tuan melihat Bint Kharija3 yang meminta belanja
kepada saya maka saya bangun dan saya tinju lehernya. Maka Rasulullah pun
tertawa seraya katanya: 'Mereka itu sekarang di sekelilingku meminta belanja!
Ketika itu Abu Bakr lalu menghampiri Aisyah dan ditinjunya lehernya, demikian
juga Umar lalu menghampiri Hafsha dan meninjunya, sambil masing-masing berkata:
'Kalian minta yang tidak ada pada Rasulullah s.a.w.! Mereka pun menjawab: 'Demi
Allah kami samasekali tidak minta kepada Rasullullah s.a.w. sesuatu yang tidak
dipunyainya."
Sebenarnya Abu Bakr dan Umar waktu itu menemui Nabi, karena
Nabi a.s. tidak tampak keluar waktu sembahyang. Karena itu kaum Muslimin
bertanya-tanya apa gerangan yang mengalanginya. Dalam peristiwa Abu Bakr dan
Umar dengan Aisyah dan Hafsha inilah datang firman Tuhan: "Wahai Nabi! Katakan kepada isteri-isterimu:
'Kalau kamu menghendaki kehidupan dan perhiasan dunia, marilah kemari, akan
kuberikan semua itu dan akan kuceraikan kamu dengan cara yang baik. Tetapi
kalau kamu menghendaki Allah dan Rasul serta kehidupan akhirat, maka Allah
telah menyediakan pahala yang besar untuk orang-orang yang berbuat kebaikan
dari kalangan kamu." (Qur'an, 33: 28-29)
Cerita
Maghafir
Kemudian isteri-isteri Nabi saling mengadakan sepakat.
Biasanya lepas salat asar Nabi mengunjungi isteri-isterinya. Ketika itu ia
sedang berkunjung kepada Hafsha menurut satu sumber - atau kepada Zainab bt.
Jahsy menurut sumber yang lain - dan lama tidak keluar, lebih dari biasanya.
Hal ini telah menimbulkan rasa iri hati pada isteri-isterinya yang lain. Aisyah
mengatakan: 'Lalu aku dan Hafsha bersepakat, bahwa bilamana Nabi s.a.w. datang
kepada salah seorang dari kami hendaklah berkata bahwa aku mencium bau
maghafir.4 Apa kau makan maghafir?" [Maghafir ialah sesuatu yang manis
rasanya, berbau tidak sedap. Sedang Nabi tidak menyukai segala yang berbau
tidak enak]. Ketika ia mendatangi salah seorang dari mereka ini, hal itu oleh
yang seorang ditanyakan kepadanya.
"Saya hanya minum madu di rumah Zainab bt. Jahsy, dan
tidak akan saya ulang lagi," katanya.
Menurut
laporan Sauda, yang juga sudah mengadakan persepakatan yang serupa dengan
Aisyah, menceritakan, bahwa setelah Nabi berada di dekatnya, ditanyanya:
"Kau makan maghafir?"
"Tidak,"
jawabnya.
"Ini
bau apa?"
"Hafsha
menyugui aku minuman dari madu."
"Yang lebahnya mengisap 'urfut?"
Dan bila ia mendatangi Aisyah dikatakannya seperti yang
dikatakan oleh Sauda. Juga Shafia ketika dijumpainya mengatakan seperti apa
yang dikatakan mereka juga. Sejak itu ia lalu mengharamkan madu untuk dirinya.
Setelah melihat kenyataan ini Sauda berkata: "Maha suci
Tuhan! Madu telah jadi haram buat kita!"
Ditatapnya ia oleh Aisyah dengan pandangan mata penuh arti
seraya katanya: Diam!
Nabi yang telah memberi kedudukan kepada isteri-isterinya,
sedang sebelum itu, seperti wanita-wanita Arab lainnya, mereka tidak pernah
mendapat penghargaan orang, sudah wajar sekali apabila sikap mereka kini mau
berlebih-lebihan dalam menggunakan kebebasan, suatu hal yang tidak pernah
dialami oleh sesama kaum wanita, sampai-sampai ada di antara mereka itu yang
menentang Nabi dan membuat Nabi gusar sepanjang hari. Ia sudah berusaha hendak
menghindarkan diri dari mereka, meninggalkan mereka, supaya sikap kasih-sayang
kepada mereka itu tidak sampai membuat tingkah laku mereka tambah melampaui
batas, dan sampai ada dari mereka yang mengeluarkan rasa cemburunya dengan cara
yang tidak layak. Setelah Maria melahirkan Ibrahim, rasa iri hati pada
isteri-isteri Nabi itu sudah melampaui sopan santun, sehingga ketika terjadi
percakapan antara dia dengan Aisyah, Aisyah menolak menyatakan adanya persamaan
rupa Ibrahim dengan Nabi itu, dan hampir-hampir pula menuduh Maria yang
bukan-bukan, yang oleh Nabi dikenal bersih.
Pernah terjadi ketika pada suatu hari Hafsha pergi
mengunjungi ayahnya dan bercakap-cakap di sana, Maria datang kepada Nabi
tatkala ia sedang di rumah Hafsha dan agak lama. Bila kemudian Hafsha kembali
pulang dan mengetahui ada Maria di rumahnya, ia menunggu keluarnya Maria dengan
rasa cemburu yang sudah meluap. Makin lama ia menunggu, cemburunya pun makin
menjadi. Bilamana kemudian Maria keluar, Hafsha masuk menjumpai Nabi.
"Saya sudah melihat siapa yang dengan kau tadi,"
kata Hafsha. "Engkau sungguh telah menghinaku. Engkau tidak akan berbuat
begitu kalau tidak kedudukanku yang rendah dalam pandanganmu."
Muhammad segera menyadari bahwa rasa cemburulah yang telah
mendorong Hafsha menyatakan apa yang telah disaksikannya itu serta
membicarakannya kembali dengan Aisyah atau isteri-isterinya yang lain. Dengan
maksud hendak menyenangkan perasaan Hafsha, ia bermaksud hendak bersumpah
mengharamkan Maria buat dirinya kalau Hafsha tidak akan menceritakan apa yang
telah disaksikannya itu. Hafsha berjanji akan melaksanakan. Tetapi rasa cemburu
sudah begitu berkecamuk dalam hati, sehingga dia tidak lagi sanggup menyimpan
apa yang ada dalam hatinya, dan ia pun menceritakan lagi hal itu kepada Aisyah.
Aisyah memberi kesan kepada Nabi bahwa Hafsha tidak lagi dapat menyimpan rahasia.
Barangkali masalahnya tidak hanya terhenti pada Hafsha dan pada Aisyah saja
dari kalangan isteri Nabi. Barangkali mereka semua - yang sudah melihat
bagaimana Nabi mengangkat kedudukan Maria - telah pula mengikuti Hafsha dan
Aisyah ketika kedua mereka ini berterang-terang kepada Nabi sehubungan dengan
Maria ini, meskipun cerita demikian sebenarnya tidak lebih daripada suatu
kejadian biasa antara seorang suami dengan isterinya, atau antara seorang
laki-laki dengan hamba sahaya yang sudah dihalalkan. Dan tidak perlu diributkan
seperti yang dilakukan oleh kedua puteri Abu Bakr dan Umar itu, yang dari pihak
mereka sendiri berusaha hendak membalas karena kecenderungan Nabi kepada Maria.
Kita sudah melihat adanya semacam ketegangan dalam saat-saat tertentu antara
Nabi dengan para isterinya karena soal belanja, karena soal madu Zainab, atau
karena sebab-sebab lain, yang menunjukkan bahwa mereka melihat Nabi lebih
mencintai Aisyah atau lebih mencintai Maria
Begitu memuncaknya keadaan mereka, sehingga pada suatu hari
mereka mengutus Zainab bt. Jahsy kepada Nabi di rumah Aisyah dan dengan
terang-terangan mengatakan bahwa ia berlaku tidak adil terhadap para isterinya,
dan karena cintanya kepada Aisyah ia telah merugikan yang lain. Bukankah setiap
isteri mendapat bagian masing-masing sehari semalam? Kemudian juga Sauda;
karena melihat Nabi menjauhinya dan tidak bermuka manis kepadanya, maka supaya
Rasul merasa senang, ia telah mengorbankan waktu siang dan malamnya itu untuk
Aisyah. Dalam berterusterang itu Zainab tidak hanya terbatas dengan mengatakan
Nabi bersikap tidak adil di antara para isteri, bahkan juga ia telah mencerca
Aisyah yang ketika itu sedang duduk-duduk, sehingga membuat Aisyah bersiap
hendak membalasnya kalau tidak karena adanya isyarat dari Nabi, yang membuat
dia jadi tenang kembali. Akan tetapi Zainab begitu bersikeras menyerangnya dan
mencerca Aisyah melampaui batas, sehingga tak ada jalan lain buat Nabi kecuali
membiarkan Aisyah membela diri. Ketika itu Aisyah membalas bicara dan membuat
Zainab jadi terdiam. Dengan demikian Nabi merasa senang dan kagum sekali
terhadap puteri Abu Bakr itu.
Pada waktu-waktu tertentu pertentangan isteri-isteri Nabi
itu sudah begitu memuncak, sebab dia dianggap lebih mencintai yang seorang
daripada yang lain, sehingga karenanya Nabi bermaksud hendak menceraikan mereka
itu sebagian, kalau tidak karena mereka lalu memberikan kebebasan kepadanya
mengenai siapa saja yang lebih disukainya. Setelah Maria melahirkan Ibrahim,
rasa iri hati pada mereka makin menjadi-jadi, lebih-lebih pada Aisyah. Dalam
menghadapi kegigihan sikap mereka yang iri hati ini Muhammad - yang sudah
mengangkat derajat mereka begitu tinggi - masih tetap lemah-lembut. Muhammad
tidak punya waktu yang senggang untuk melayani sikap kegigihan serupa itu dan
membiarkan dirinya dipermainkan oleh sang isteri. Mereka harus mendapat
pelajaran dengan sikap yang tegas dan keras. Persoalan pada isteri-isteri itu
harus dapat dikembalikan ke tempat semula. Dia harus kembali dalam
ketenangannya berpikir, dalam menjalankan dakwah ajarannya, seperti yang sudah
ditentukan Tuhan kepadanya itu. Dapat juga pelajaran itu berupa tindakan
meninggalkan mereka atau mengancam mereka dengan perceraian. Kalau mereka mau
kembali sadar, baiklah; kalau tidak, berikanlah bagiannya dan ceraikan mereka
dengan cara yang baik.
Selama sebulan Nabi meninggalkan
isterinya
Selama sebulan penuh akhirnya Nabi memisahkan diri dari
mereka. Tiada orang yang diajaknya bicara mengenai mereka, juga orang pun tak
ada yang berani memulai membicarakan masalah mereka itu. Dan selama sebulan itu
ia memusatkan pikirannya pada apa yang harus dilakukannya, apa yang harus
dilakukan oleh kaum Muslimin dalam menjalankan dakwah Islam, serta menyebarkan
agama itu keluar jazirah.
Dalam pada itu Abu Bakr dan Umar serta bapa-bapa mertua Nabi
yang lain merasa gelisah sekali melihat nasib Umm'l-Mukminin (Ibu-ibu
Orang-orang Beriman) serta apa yang akan terjadi karena kemarahan Rasulullah,
dan karena kemarahan Rasul itu akan berakibat pula adanya kemurkaan Tuhan dan para
malaikat. Bahkan sudah ada orang berkata, bahwa Nabi telah menceraikan Hafsha
puteri Umar setelah ia membocorkan apa yang dijanjikannya akan dirahasiakan.
Desas-desus pun beredar di kalangan Muslimin bahwa Nabi sudah menceraikan
isteri-isterinya. Dalam pada itu isteri-isteri pun gelisah pula, menyesal, yang
karena terdorong oleh rasa cemburu, sampai begitu jauh mereka menyakiti hati
suami yang tadinya sangat lemah-lembut kepada mereka. Bagi mereka dia adalah
saudara, bapa, anak dan segala yang ada dalam hidup dan di balik hidup ini.
Sekarang Muhammad sudah menghabiskan sebagian waktunya dalam
sebuah bilik kecil. Dan selama ia dalam bilik itu pelayannya Rabah duduk
menunggu di ambang pintu. Jalan masuk ke tempat itu melalui tangga dari batang
kurma yang kasar sekali.
Sudah sebulan lamanya ia dalam bilik itu sesuai dengan
niatnya hendak meninggalkan para isterinya itu samasekali. Ketika itu kaum
Muslimin sedang berada dalam mesjid dalam keadaan menekur. Mereka berkata:
Rasulullah s.a.w. telah menceraikan isteri-isterinya. Jelas sekali kesedihan
yang mendalam itu membayang pada wajah mereka. Ketika itu Umar yang berada di
tengah-tengah mereka lalu berdiri. Ia hendak pergi ke tempat Nabi dalam
biliknya itu. Dipanggilnya Rabah si pelayan supaya dimintakan ijin ia hendak
menemui Rasulullah. Ia melihat kepada Rabah dengan mengharapkan jawaban. Tapi
rupanya Rabah tidak berkata apa-apa, yang berarti bahwa Nabi belum mengijinkan.
Sekali lagi Umar mengulangi permintaan itu. Juga sekali lagi Rabah tidak
memberikan jawaban. Sekali ini Umar berkata lagi dengan suara lebih keras.
Percakapan Umar dengan
Nabi
"Rabah, mintakan aku ijin kepada Rasulullah s.a.w.
Kukira dia sudah menduga kedatanganku ini ada hubungannnya dengan Hafsha.
Sungguh, kalau dia menyuruh aku memenggal leher Hafsha, akan kupenggal."
Sekali ini Nabi memberi ijin dan Umar pun masuk. Bila ia
sudah duduk dan membuang pandang ke sekeliling tempat itu, ia menangis.
"Apa yang membuat engkau menangis, Ibn'l-Khattab?"
tanya Muhammad.
Yang membuatnya menangis ialah melihat tikar tempat Nabi
berbaring itu sampai membekas di rusuknya, dan bilik sempit yang tiada berisi
apa-apa selain segenggam gandum, kacang-kacangan5 dan kulit yang digantungkan.
Setelah oleh Umar disebutkan apa yang telah menyebabkannya
menangis itu dan Nabi mengatakan perlunya meninggalkan kehidupan duniawi, ia
pun mulai kembali tenang.
Kemudian kata Umar: "Rasulullah, apa yang menyebabkan
tuan tersinggung karena para isteri itu. Kalau mereka itu tuan ceraikan,
niscaya Tuhan di sampingmu, demikian juga para malaikat - Jibril dan Mikail -
juga saya, Abu Bakr, dan semua orang-orang beriman berada di pihakmu."
Kemudian ia terus bicara dengan Nabi sehingga bayangan
kemarahannya berangsur hilang dari wajahnya dan ia pun tertawa. Setelah Umar
melihat hal ini lalu diceritakannya keadaan Muslimin yang di mesjid serta apa
yang mereka katakan, bahwa Nabi telah menceraikan isteri-isterinya. Dengan
adanya keterangan dari Nabi bahwa ia tidak menceraikan mereka, ia minta ijin
akan mengumumkan hal ini kepada orang-orang yang sekarang masih tinggal di
mesjid menunggu.
Ia pergi ke mesjid, dan dengan suara keras ia berkata kepada
mereka: "Rasulullah - s.a.w. - tidak menceraikan isterinya."
Sehubungan dengan peristiwa inilah ayat-ayat suci ini turun: "Wahai Nabi!
Mengapa engkau mengharamkan sesuatu yang oleh Tuhan dihalalkan untukmu; hanya
karena engkau ingin memenuhi segala yang disenangi para isterimu? Dan Allah jua
Maha Pengampun dan Penyayang. Tuhan telah mewajibkan kamu melepaskan sumpah
kamu itu. Dan Tuhan jua Pelindungmu, Dia mengetahui dan Bijaksana."
Tatkala Nabi membisikkan cerita itu kepada salah seorang
isterinya, maka bila ia (isteri) itu mengumumkan hal tersebut dan Tuhan
mengungkapkan hal itu kepadanya, sebagian diterangkannya dan yang sebagian lagi
tidak. Bila hal itu kemudian disampaikan kepada isterinya, ia bertanya:
"Siapa yang mengatakan itu kepadamu?" Ia menjawab: "Yang
mengatakan itu kepadaku Allah Yang Maha mengetahui. Kalau kamu berdua mau
bertaubat kepada Allah maka hatimu sudah sudi menerima. Tetapi kalau kamu
berdua bantu-membantu menyusahkannya, maka Tuhanlah Pelindungnya; demikian juga
Jibril dan setiap orang baik-baik di kalangan orang-orang beriman; di samping
itu para malaikat juga jadi penolongnya. Jika ia menceraikan kamu, boleh jadi
Tuhan memberi ganti kepadanya dengan isteri-isteri yang lebih baik daripada
kamu - yang berserah diri, yang beriman, berbakti dan bertaubat, yang rendah
hati beribadat dan berpuasa, janda-janda atau perawan." (Qur'an, 66: 1-5)
Dengan demikian peristiwa itu selesai. Isteri-isteri Nabi
kembali sadar, dan dia pun kembali kepada mereka setelah mereka benar-benar
bertaubat, menjadi manusia yang rendah hati beribadat dan beriman. Kehidupan
rumahtangganya sekarang kembali tenang, yang memang demikian diperlukan oleh
setiap manusia yang sedang melaksanakan suatu beban besar yang ditugaskan
kepadanya.
Apa yang sudah saya ceritakan tentang Muhammad yang sudah
meninggalkan isteri-isterinya dan menyuruh mereka supaya memilih, peristiwa-peristiwa
yang terjadi sebelum dan sesudah ditinggalkan serta beberapa kejadian yang
sebelum itu dan akibatnya, menurut hemat saya itulah cerita yang sebenarnya
mengenai sejarah kejadian ini. Cerita ini saling menguatkan satu sama lain,
seperti yang ada dalam kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab hadis. Demikian juga
adanya keterangan-keterangan di sana-sini mengenai diri Muhammad dan
isteri-isterinya dalam pelbagai buku biografi itu. Sungguhpun begitu tiada
sebuah juga buku-buku sejarah itu yang membawa peristiwa ini atau mengemukakan
peristiwa-peristiwa sebelumnya serta kesimpulan-kesimpulan yang diambilnya
seperti yang saya kemukakan dalam buku ini. Dalam menghadapi kejadian seperti
ini oleh buku-buku sejarah Nabi itu kebanyakan dilewati begitu saja tanpa
ditelaah lebih lanjut; seolah-olah ini dilihatnya sebagai barang yang kesat
dipegang dan takut sekali mendekatinya. Ada lagi yang menelaah soal madu dan
maghafir, tanpa sepatah kata juga menyebut-nyebut soal Hafsha dan Maria.
Sebaliknya oleh pihak Orientalis - soal Hafsha dan Maria,
soal Hafsha yang membuka rahasia kepada Aisyah - hal yang dijanjikan kepada
Nabi akan dirahasiakan - dijadikannya pangkal sebab semua kejadian itu. Dengan
demikian mereka berusaha hendak menambah hal-hal baru untuk meyakinkan
pembacanya tentang diri Nabi, bahwa dia laki-laki yang senang kepada wanita
dengan cara yang tidak bersih. Menurut hemat saya, penulis-penulis sejarah dari
kalangan Muslimin sendiri tidak punya alasan akan mengabaikan kejadian-kejadian
ini dengan segala artinya yang sangat dalam itu seperti sudah sebagian kita
kemukakan soalnya. Sedang pihak Orientalis, yang dalam hal ini sudah
terpengaruh oleh nafsu ke-kristenannya, mereka sudah menyalahi cara-cara
penelitian sejarah. Terhadap siapa pun lepas dari orang besar seperti Muhammad
- kritik sejarah yang murni tidak dapat menerima bahwa pengungkapan Hafsha
kepada Aisyah karena ia telah menemui suaminya dalam rumahnya dengan hamba
sahayanya yang sudah menjadi haknya itu dan dengan demikian ia halal baginya - akan
dijadikan suatu sebab kenapa Muhammad sampai meninggalkan semua isteri selama
sebulan penuh, serta mengancam mereka semua akan diceraikan. Juga kritik
sejarah yang murni tidak dapat menerima bahwa cerita madu itu telah juga
dijadikan sebab adanya perpisahan dan ancaman itu.
Apabila orang itu orang besar seperti Muhammad, lemah-lembut
seperti Muhammad, berlapang dada, tahan menderita, orang berwatak dengan segala
sifat-sifat yang ada pada Muhammad, yang sudah sepakat diakui pula oleh semua
penulis sejarah hidupnya, maka menggambarkan salah satu dari kedua peristiwa
itu an sich sebagai sebab ia memisahkan diri dan mengancam hendak menceraikan
isteri, adalah suatu hal yang kebalikannya, jauh daripada suatu cara kritik
sejarah. Sebaliknya, kritik yang akan dapat diterima orang dan sejalan pula
dengan logika sejarah ialah apabila peristiwa-peristiwa itu mengikuti jejak
yang sebenarnya, yang akan membawa kepada kesimpulankesimpulan yang sudah pasti
tidak bisa lain akan ke sana. Maka dengan demikian ia akan menjadi masalah
biasa, masuk akal dan secara ilmiah dapat diterima. Dan apa yang sudah kita
lakukan ini menurut hemat saya adalah langkah yang wajar dalam peristiwa itu,
yakni yang sesuai dengan kebijaksanaan Muhammad, dengan segala kebesarannya,
keteguhan hati serta pandangannya yang jauh.
Ada beberapa Orientalis yang juga bicara tentang ayat-ayat
yang turun pada permulaan Surah At-Tahrim (66) seperti yang sudah saya kutip
itu. Disebutkannya bahwa semua kitab-kitab suci di Timur tidak ada yang
menyebut-nyebut peristiwa rumahtangga dengan cara semacam itu.
Rasanya tidak perlu kita mengatakan lagi apa yang tersebut
dalam kitab-kitab suci itu semua - termasuk Qur'an di antaranya tentang
masyarakat Lut dengan segala cacat mereka, di samping bagaimana mereka mendebat
dua malaikat tamu Lut itu serta tentang apa yang disebutkan dalam kitab-kitab
suci itu tentang isteri Lut, dan bahwa dia termasuk orang yang tertinggal di
belakang. Bahkan Taurat (Perjanjian Lama) membawa cerita tentang Lut dan dua
anaknya yang perempuan ketika mereka memberikan minuman anggur kepada bapanya
sehingga dua malam berturut-turut ia mabuk, dengan maksud supaya dapat
berseketiduran dengan anak itu masing-masing dan dengan demikian supaya beroleh
keturunan, karena dikuatirkan keluarga Lut kelak akan punah, setelah Tuhan
menurunkan bencana kepada mereka itu. Sebabnya maka semua kitab suci membuat
kisah-kisah para rasul serta apa yang mereka lakukan dan segala apa yang
terjadi, ialah sebagai suri teladan bagi umat manusia.
Banyak sekali kisah-kisah demikian dalam Qur'an. Tuhan
menyampaikan kisah-kisah yang baik sekali kepada Rasul. Sedang Qur'an bukan
hanya diturunkan kepada Muhammad, melainkan kepada seluruh umat manusia.
Muhammad adalah seorang nabi dan seorang rasul, sebelum dia pun telah banyak
rasul-rasul lain yang dibawakan kisahnya dalam Qur'an. Kalau Qur'an
menyampaikan berita-berita tentang Muhammad dan menyangkut pula kehidupan
pribadinya yang perlu menjadi contoh buat kaum Muslimin dan teladan yang baik
pula, serta memberi isyarat tentang arti dalam tindakan dan kebijaksanaannya
itu, maka kisah-kisah para nabi yang terdapat dalam Qur'an itu samasekali tidak
berarti keluar daripada apa yang terdapat dalam kitab-kitab suci lain. Apabila
kita mengatakan, bahwa masalah Muhammad meninggalkan isterinya itu bukan sebab
yang berdiri sendiri di samping sebab-sebab lain yang telah menimbulkan cerita
itu, juga bukan karena Hafsha bercerita kepada Aisyah apa yang dilakukan
Muhammad dengan Maria - suatu hal yang memang patut dilakukan oleh setiap laki-laki
terhadap isterinya atau siapa saja yang menjadi miliknya yang sah - orang akan
melihat, bahwa tinjauan yang dikemukakan oleh beberapa Orientalis itu, dari
segi kritik sejarah samasekali tidak dapat dibenarkan, juga tidak pula sejalan
dengan apa yang ada dalam kitab-kitab suci sehubungan dengan kisah-kisah dan
kehidupan para nabi itu.
Catatan
kaki
1.
Ka'b
ibn Zuhair seorang penyair kenamaan hidup dalam masa paganisma dan Islam.
Ayahnya, Zuhair b. Abi Sulma, salah seorang penyair Mu'allaqat (lihat halaman
63 jilid satu). Sajak ini panjang, dan terkenal sekali, dimulai dengan
melukiskan kekasihnya, Su'ad. Kemudian dilukiskannya betapa kagumnya ia kepada
Rasul, yang baru dijumpainya itu, karena telah memaafkannya. Padahal sebelum
itu, dengan sajak-sajaknya ia mengejek dan memaki-makinya. Di samping itu Rasul
bahkan membuka mantelnya (burda) dan dibenkannya kepada Ka'b. Serangkum puisi
yang indah ini sebenarnya hidup sampai sekarang dengan beberapa adaptasi,
antara lain melalui Bushiri (lihat halaman xxiii) dan penyair Ahmad Syauqi
(1868-1932), penyair Mesir kenamaan, dan yang juga dijadikan tema dalam
beberapa komposisi musik Mesir kontemporer (A).
2. Diberi julukan demikian,
konon karena dia terkenal sebagai penunggang kuda yang mahir. Dia juga penyair,
orator, pemberani dan pemurah (A).
3. Demikian menurut Muslim,
tapi berlainan dengan Tabari, yang memaparkan isteri-isteri Umar yang bernama
Bint Kharija, dan dalam (Ruh'l-Ma'ani: 'kalau tuan melihat Bint Zaid É' dst.
4. Maghafir jamak mighfar,
ialah getah yang dihasilkan dari pohon 'urfut, rasanya manis dan baunya tidak
sedap. 'Urfut sebangsa pohon paku yang mengeluarkan getah berbau tidak sedap,
yang bila diisap oleh lebah menghasilkan madu yang sama baunya. (LA)
TerJemahannya yang persis dalam kata Indonesia belum tersua. Mungkin pohon ini
termasuk jenis paku atau akasia (A).
5. qaraz kacang-kacangan
dari sejenis pohon paku (acacia nilotica?) (A).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar